Sejarah Bank Indonesia
Sejarah kelembagaan Bank Indonesia dimulai sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953. Dalam melakukan tugasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan Penasehat. Di tangan Dewan Moneter inilah, kebijakan moneter ditetapkan, meski tanggung jawabnya berada pada pemerintah. Setelah sempat dilebur ke dalam bank tunggal, pada masa awal orde baru, landasan Bank Indonesia berubah melalui UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral. Sejak saat itu, Bank Indonesia berfungsi sebagai bank sentral dan sekaligus membantu pemerintah dalam pembangunan dengan menjalankan kebijakan yang ditetapkan pemerintah dengan bantuan Dewan Moneter. Dengan demikian, Bank Indonesia tidak lagi dipimpin oleh Dewan Moneter. Setelah orde baru berlalu, Bank Indonesia dapat mencapai independensinya melalui UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah dengan UU No. 3/2004. Sejak saat itu, Bank Indonesia memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lain. Namun, dalam melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan, Bank Indonesia harus mempertimbangkan pula kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Setelah
berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter di Indonesia secara umum
ditetapkan oleh Dewan Moneter dan pemerintah bertanggung jawab atasnya.
Mengingat buruknya perekonomian pasca perang, yang ditempuh pertama kali dalam
bidang moneter adalah upaya perbaikan posisi cadangan devisa melalui kegiatan
ekspor dan impor. Pada periode ekonomi terpimpin, pembiayaan deficit spending
keuangan negara terus meningkat, terutama untuk membiayai proyek politik
pemerintah. Laju inflasi terus membumbung tinggi sehingga dilakukan dua kali
pengetatan moneter, yaitu tahun 1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut
pemerintah memasuki masa pemulihan ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi
yang kemudian diteruskan dengan kebijakan deregulasi bidang keuangan dan
moneter pada awal 1980-an. Di tengah pasang surutnya kondisi perekonomian,
lahirlah berbagai paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat
struktur perekonomian Indonesia.
Mulai
pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi moneter menerpa Indonesia. Nilai tukar
rupiah melemah, sistem pembayaran terancam macet, dan banyak utang luar negeri
yang tak terselesaikan. Berbagai langkah ditempuh, mulai dari pengetatan
moneter hingga beberapa program pemulihan IMF yang diperoleh melalui beberapa
Letter of Intent (LoI) pada tahun 1998. Namun akhirnya masa suram dapat
terlewati. Perekonomian semakin membaik seiring dengan kondisi politik yang
stabil pada masa reformasi. Sejalan dengan itu, tahun 1999 merupakan tonggak
bersejarah bagi Bank Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 23/1999
tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.
3/2004. Dalam undang-undang ini, Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga
tinggi negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sesuai
undang-undang tersebut, Bank Indonesia diwajibkan untuk menetapkan target
inflasi yang akan dicapai sebagai landasan bagi perencanaan dan pengendalian
moneter. Selain itu, utang luar negeri berhasil dijadwalkan kembali dan
kerjasama dengan IMF diakhiri melalui Post Program Monitoring (PPM) pada 2004.
Saat
kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17
Agustus 1950, struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh struktur
kolonial. Bank-bank asing masih merajai kegiatan perbankan nasional, sementara
peranan bank-bank nasional dalam negeri masih terlampau kecil. Hingga masa
menjelang lahirnya Bank Indonesia pada tahun 1953, pengawasan dan pembinaan
bank-bank belum terselenggara. De Javasche Bank adalah bank asing pertama yang
dinasionalisasi dan kemudian menjelma menjadi BI sebagai bank sentral
Indonesia. Beberapa tahun kemudian, seiring dengan memanasnya hubungan
RI-Belanda, dilakukan nasionalisasi atas bank-bank milik Belanda. Berikutnya,
sistem ekonomi terpimpin telah membawa bank-bank pemerintah kepada sistem bank
tunggal yang tidak bertahan lama. Orde baru datang membawa perubahan dalam
bidang perbankan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14/1967 tentang
Pokok-Pokok Perbankan. Mulai saat itu, sistem perbankan berada dalam kesatuan
sistem dan kesatuan pimpinan, yaitu melalui pengawasan dan pembinaan Bank
Indonesia. Bank Indonesia dengan dukungan pemerintah, dalam kurun waktu
1971-1972 melaksanakan kebijakan penertiban bank swasta nasional dengan sasaran
mengurangi jumlah bank swasta nasional, karena jumlahnya terlalu banyak dan
sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang sangat lemah dalam permodalan
dan manajemen. Selain itu, Bank Indonesia juga menyediakan dana yang cukup
besar melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) untuk program-program
Kredit Investasi Kecil (KIK)/Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit
Investasi (KI), Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI), Kredit Koperasi (Kakop),
Kredit Profesi Guru (KPG), dan sebagainya. Dengan langkah ini, BI telah
mengambil posisi sebagai penyedia dana terbesar dalam pembangunan ekonomi di
luar dana APBN.
Industri
perbankan Indonesia telah menjadi industri yang hampir seluruh aspek kegiatannya
diatur oleh pemerintah dan BI. Regulasi tersebut menyebabkan kurangnya
inisiatif perbankan. Tahun 1983 merupakan titik awal BI memberikan kebebasan
kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga, baik kredit maupun tabungan dan
deposito. Tujuannya adalah untuk membangun sistem perbankan yang sehat,
efisien, dan tangguh. Kebijakan selanjutnya merupakan titik balik dari
kebijakan pemerintah dalam penertiban perbankan tahun 1971-1972 dengan
dikeluarkannya Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88), yaitu
kemudahan pemberian ijin usaha bank baru, ijin pembukaan kantor cabang, dan
pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pada periode selanjutnya, perbankan
nasional mulai menghadapi masalah meningkatnya kredit macet. Hal ini sejalan
dengan meningkatnya pemberian kredit oleh perbankan terutama untuk sektor
properti. Keadaan ekonomi mulai memanas dan tingkat inflasi mulai bergerak
naik. Ketika krisis moneter 1997 melanda, struktur perbankan Indonesia porak
poranda. Pada tanggal 1 November 1997, dikeluarkan kebijakan pemerintah yang
melikuidasi 16 bank swasta. Hal ini mengakibatkan kepanikan di masyarakat. Oleh
karena itu, Bank Indonesia turun mengatasi keadaan dengan Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) atas dasar kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Selain
itu, berbagai tindakan restrukturisasi dijalankan oleh Bank Indonesia bersama
pemerintah.
Sistem
pembayaran di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu sistem pembayaran tunai dan
non tunai. Dalam Undang-Undang (UU) No. 11/1953 ditetapkan bahwa Bank Indonesia
(BI) hanya mengeluarkan uang kertas dengan nilai lima rupiah ke atas, sedangkan
pemerintah berwenang mengeluarkan uang kertas dan uang logam dalam pecahan di
bawah lima rupiah. Uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah uang
kertas bertanda tahun 1952 dalam tujuh pecahan. Selanjutnya, berdasarkan UU No.
13/1968, BI mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam
sebagai alat pembayaran yang sah dalam semua pecahan. Sejak saat itu,
pemerintah tidak lagi menerbitkan uang kertas dan uang logam. Uang logam
pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah emisi tahun 1970. Pada era 1990-an, BI
mengeluarkan uang dalam pecahan besar, yaitu Rp 20.000 (1992), Rp 50.000
(1993), dan Rp 100.000 (1999). Hal itu dilakukan guna memenuhi kebutuhan uang
pecahan besar seiring dengan perkembangan ekonomi yang tengah berlangsung saat
itu.
Sementara
itu, dalam bidang pembayaran non tunai, BI telah memulai langkahnya dengan
menetapkan diri sebagai kantor perhitungan sentral menjelang akhir tahun 1954.
Sebagai bank sentral, sejak awal BI telah berupaya keras dalam pengawasan dan
penyehatan sistem pembayaran giral. BI juga terus berusaha untuk menyempurnakan
berbagai sistem pembayaran giral dalam negeri dan luar negeri. Pada periode
1980 sampai dengan 1990-an, pertumbuhan ekonomi semakin membaik dan volume
transaksi pembayaran non tunai juga semakin meningkat. Oleh karena itu, BI
mulai menggunakan sistem yang lebih efektif dan canggih dalam penyelesaian
transaksi pembayaran non tunai. Berbagai sistem seperti Semi Otomasi Kliring
Lokal (SOKL) dengan basis personal computer dan Sistem Transfer Dana Antar
Kantor Terotomasi dan Terintegrasi (SAKTI) dengan sistem paperless transaction
terus dikembangkan dan disempurnakan. Akhirnya, BI berhasil menciptakan berbagai
perangkat sistem elektronik seperti BI-LINE, Sistem Kliring Elektronik Jakarta
(SKEJ), Real Time Gross Settlement (RTGS), Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh
(SIKJJ), kliring warkat antar wilayah kerja (intercity clearing), dan
Scriptless Securities Settlement System (S4) yang semakin mempermudah
pelaksanaan pembayaran non tunai di Indonesia.
Mr. Loekman Hakim Masa Jabatan : 1958 – 1959 |
Mr. Soetikno Slamet Masa Jabatan : 1959 - 1960 |
Mr. Soemarno Masa Jabatan : 1960 - 1963 |
T. Jusuf Muda Dalam Masa Jabatan : 1963 - 1966 |
Radius Prawiro Masa Jabatan : 1966 - 1973 |
Rachmat Saleh Masa Jabatan : 1973 - 1983 |
Arifin Siregar Masa Jabatan : 1983 - 1988 |
Adrianus Mooy Masa Jabatan : 1988 - 1993 |
J. Soedradjad Djiwandono Masa Jabatan : 1993 - 1998 |
Sjahril Sabirin Masa Jabatan : 1998 - 2003 |
Burhanuddin Abdullah Masa Jabatan : 2003 - 2008 |
Boediono Masa Jabatan : 2008 - 2009 |
Komentar
Posting Komentar